Hingga tahun 2022, Desa masih menjadi objek yang menarik untuk diteliti, kaji dan dampingi. Isu kemandirian data, kedaulatan informasi yang bermuara pada kemajuan sebuah desa masih butuh pelibatan banyak pihak. Kita, tidak bisa menutup mata dengan kondisi yang stagnan, tanpa perubahan yang signifikan dan cenderung normatif, meski zaman terus menuntut perubahan diberbagai sektor akibat dari cepatnya peran teknologi yang terus memudahkan manusia.

Tiga Tantangan Fundamental Membangun Desa
Pelatihan Rutin di Desa Cibogo, Kec. Waled

Dari pengalaman saya sejak tahun 2014 bersama Jingga Media serta Relawan TIK dan kini melalui ZEOtech.co.id paling tidak saya berusaha menyimpulkan ragam persoalan dan tantangan yang kini dihadapi oleh Pemerintah Desa, saya coba mengelompokannya menjadi tiga persoalan utama, yaitu :

Sumber Daya Manusia, Penyelenggara Pemerintah Desa dan Masyarakatnya

SDM adalah kunci utama dalam terselenggaranya pemerintahan desa yang ideal, paling tidak dalam ruang lingkup kewenangan yang setara dan dibawahnya. Terlepas dari persoalan yang muncul yang tidak bersumber dari internal atau wilayah desa itu sendiri, persoalan sudah dimulai ketika proses pencalonan dan pemilihan Kepala Desa yang masih dominan transaksional sehingga sudah menjadi rahasia umum lagi ketika calon yang terpilih harus memikirkan bagaimana caranya dapat mengembalikan uang pinjaman, atau aset yang terjual atau bahkan mengambil keuntungan sebagai ganti rugi akibat dari energi yang terkuras pasca pemilihan.

Bertubi - tubi masalah turunan kemudian muncul, pemenang tak mungkin diam tanpa mengungkapkan rasa syukurnya dan seolah menjadi sebuah tuntutan oleh pendukung serta masyarakat bahwasanya kemenangan harus dirayakan. Ungkapan bahwa kemenangan adalah awal dari penderitaan agaknya tidak berlaku pada saat itu, sebab semua terbawa pada euforia yang terus menutup mata dan kesadaran bahwa lalu lintas keuangan sudah tidak stabil, larut dalam berbagai perayaan semata.

Disatu sisi itu merupakan kearifan lokal dan tradisi yang juga memiliki nilai positif, dapat dimanfaatkan sebagai momen atau simpul komunikasi efektif bagi Kepala Desa terpilih untuk membangun hubungan emosional kepada warganya, sayangnya rasa tersebut hilang bagai ditelan bumi, ketika periode kepemimpinan berjalan satu tahun. Lebih dari itu, semua terasa biasa saja, bahkan tak sedikit yang mulai kehilangan kepercayaan, itulah kita.

Tiga Tantangan Fundamental Membangun Desa
Pelatihan Rutin di Desa Cipeujeuh Wetan, Kec. Lemahabang

Masalah klasik lainnya yang timbul setelah proses tersebut adalah soal persiapan kepemimpinan, yaitu Perangkat Desa. Bagi petahana, persoalan ini mungkin tidak begitu berarti, tetapi bagi Kepala Desa yang baru ini menjadi batu sandungan yang besar. Lagi, aroma transaksional menggelapkan banyak mata, ironisnya proses tersebut bahkan hingga melibatkan lembaga diatas Pemerintah Desa. 

Agaknya lumrah ketika berbagai tanggapan dan komentar masyarakat terkait dua isu utama ini. Disini saya terlibat langsung dan mendapati fakta bahwa masih ada juga masyarakat yang rela mengeluarkan biaya tak sedikit untuk memiliki jabatan sebagai Perangkat Desa tanpa tau berapa gaji nya, apa tugasnya, bagaimana tanggungjawabnya, yang penting kerja dan berseragam kayak PNS.

Semua proses tersebut menurut saya, sudah menurunkan kualitas SDM, boro - boro bicara mewujudkan visi dan misi serta membuat program unggulan. Kemampuan dasar dari hulu ke hilir, dari sisi regulasi, strategi implementasi, memahami kultur dan pemikiran masyarakat serta mampu membaca berbagai peluang serta potensi masalah yang akan muncul juga sudah dianggap nihil.

Faktor leadership atau kepemimpinan kemudian membangun budaya kerja serta mentalitas perangkat desa menjadi fundamental diawal. Pastikan memiliki komitmen untuk terus mau meningkatkan kemampuan teknis, administrasi, komunikasi, manajerial, mengatur ritme sehingga menjadi suatu kebiasaan dan etos kerja yang sehat, berikutnya adalah :

Ekosistem Masyarakat yang Partisipatif dan Kolaboratif

Ekosistem Masyarakat yang dimaksud adalah dukungan masyarakat, bukan lagi unsur, melainkan seluruhnya, memahami seperti apa proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemeliharaan sehingga masyarakat dapat membedakan apa itu kritik dan nyinyir. Bagaimana cara menuntut haknya sebagai warga tidak dengan cara yang provokatif dan apatis, kesadaran ini penting agar seluruh masyarakat dapat mengambil peran sebagai pengawas, pendorong dan penggerak perubahan secara bersama - sama dengan Pemerintah Desa.

Tiga Tantangan Fundamental Membangun Desa
Tangkapan Layar : Website Resmi Desa Kalikoa, menuju Desa Digital

Dua hal tersebut, sebagaimana ditulis menjadi sebuah sub judul dalam postingan ini, agaknya sudah cukup berat jika dibayangkan atau berkaca dengan kondisi masing - masing desa, siapapun anda yang membaca saat ini. Yah, itulah tantangan kita bersama. 

Kondisi secara umum komunikasi dalam rangka membangun ekosistem masyarakat yang sehat tersebut lebih dominan gagal. Sehingga muncul ungkapan, Perangkat Desa benarnya aja salah, apalagi salahnya, hal ini seolah memunculkan perlawanan dengan keculasan dan transaksional dalam pelayanan,  sehingga semua seolah saling mencari kambing hitam dan nyaman menjadi oknum dari ketertinggalan dan keterbelakangan, selanjutnya untuk mempersingkat tulisan, point yang ketiga adalah : 

Ekosistem Birokrasi yang Bersih dan Mengayomi

Ekosistem Birokrasi, seandainya SDM dan Ekosistem Masyarakat Desa sudah baik, tantangan berikutnya adalah Ekosistem Birokrasi dilevel yang sama atau diatasnya, semisal Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Kementrian. Ibarat anak kecil yang masuk kehutan rimba, ia akan dihadapkan pada lebatnya pepohonan dan rerumputan sehingga tidak dapat melihat mana jalan dan mana jurang.

Semangat reformasi birokrasi yang digaungkan masih jauh dari harapan, meski tak sepenuhnya diangap gagal, karena saya bertemu secara langsung dengan pejabat yang bersih, idealis serta menjunjung tinggi intergritas. Dipoint ini saya tidak dapat menuliskan terlalu vulgar, selain itu, level ini juga secara tidak langsung sudah diluar kewenangan atau ruang lingkup Pemerintah Desa, tetapi ini dapat menjadi acuan bahwasanya SDM dan Ekosistem Masyarakat yang kuat akan mampu mendorong Ekosistem Birokrasi yang Bersih dan Mengayomi.

Tiga point tersebut menurut saya menjadi masalah yang fundamental, berulang bahkan menurunkan berbagai masalah baru. Secara umum saya masih menilai wajar ketika 15 orang, rata - rata jumlah SDM penyelenggara Pemerintah Desa harus melayani segala kebutuhan 4000 orang warganya (rata - rata penduduk desa) dengan berbagai macam karakter, kepentingan dan kebutuhan, sehingga perubahan tidak dapat dilakukan dengan cepat karena pada akhirnya mayoritas SDM Penyelenggara Pemerintah harus menanggalkan segala idealismenya atau terus memperjuangkan kemajuan dengan keteguhan dan keyakinan yang kuat sehingga memunculkan mitra/partner yang satu frekuensi.

*Catatan pribadi dari pendampingan terhadap Desa Kalikoa, Panguragan Wetan, Cipeujeuh Wetan, Waled, Tuk serta pengamatan terhadap Desa Munjul, Cipeujeuh Kulon, Plumbon, Sitiwinangun dan Purbawinangun, periode Januari hingga Juli tahun 2022.